Mereka (para guru) senang dengan ruangannya. Tetapi tidak mungkin mengkreasikannya di sekolah karena ukuran ruang kelas yang terlampau kecil, keterbatasan ruang, perputaran siswa di kelas yang besar (big class rosters), keterbatasan budget, serta petunjuk keamanan dari kebakaran yang tidak boleh dilepas dari dinding. Mereka meyakini bahwa untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang luar biasa, mereka membutuhkan uang yang banyak, serta wahana-wahana modern untuk bekerja. Tujuan akhir dari desain ruang kelas yang lebih baik adalah menyempurnakan knierja siswa dalam pelajaran.
Itu semua kabar-kabar buruknya. Kabar baiknya adalah, ada prinisip-prinsip desain-desain ramah pembelajaran (learning-friendly) yang bisa diaplikasikan melampaui masalah-masalah tersebut di atas. Untuk menjadikan ruang kelas anda sebagai tempat belajar yang lebih baik bagi para siswa. Referensi yang bisa kita tengok: The Space: A Guide for Educators (Robert Dillon dan Rebecca Hare).
Dari beberapa masalah desain yang sering beliau lihat di ruang kelas saat ini, ada beberapa ide darinya yang mungkin dilakukan oleh guru untuk membuat ruang kelas yang lebih ramah belajar, dan bagaimana mengatasi beberapa hambatan yang muncul tatkala mendesain ulang ruang belajar.
1.Siswa Mengaudit Ruang Kelas
Kira-kira benda apa di ruangan ini yang akan mendukung kalian belajar? Guru bisa bertanya seperti itu kepada para siswa. Meminta para murid mengaudit ruangan, akan membantu kita melihat desain ruang kelas ini dengan kacamata yang berbeda.
Analisa benda mana yang kira-kira menjadi kebisingan visual (visual noise). Yaitu, benda mana yang tidak seharusnya berlama-lama berada di dalam kelas karena tidak menambah nilai manfaat apapun terhadap proses dan hasil pembelajaran itu sendiri. Misalnya poster binatang atau foto tokoh nasional (kecuali foto presiden dan wakil presiden, ya) yang selalu menempel di dinding, tidak hanya pada mata pelajaran IPA (biologi) atau sejarah, namun pada mata pelajaran apa pun.
Bentuk lain visual noise adalah warna-warni yang terlampau banyak, yang menyebabkan siswa tidak bisa fokus pada belajarnya. Di sini, yang perlu dilakukan adalah mereduksi variasi warna tersebut sehingga hanya tiga saja. Terdiri dari satu warna utama, diiringi oleh dua warna lain yang berfungsi sebagai pelengkap.
Bagaimana dinding dan setiap incinya, apakah mendukung atau malah mengalihkan perhatian murid dari belajar? Apakah kita benar-benar membutuhkan poster tersebut? Bagaimana kita memanfaatkan dinding, sehingga dinding pun memberikan informasi yang dapat diakses oleh siswa?
Di sinilah keunggulan ruang kelas berbasis mata pelajaran. Visual maupun pengalamannya dapat didesain dan direkayasa sedemikian rupa demi tercapainya tujuan-tujuan pembelajaran pada diri siswa.
2. Mengurangi “Sampah Visual”
Hal pertama dan paling sederhana yang bisa kita lakukan, adalah mengurangi “sampah visual” tersebut. Siapapun, setiap kali memasuki ruang kelas, akan memindai apa saja yang ada di dalam kelas. Selain manusia (guru dan murid) dan perangkat kelas seperti papan tulis, adakah benda-benda lain yang tidak sepatutnya berada di dalam ruang kelas.
Tatkala kita meminta para siswa untuk terlibat secara intelektual, yang terjadi bisa jadi adalah mereka kelelahan secara visual terhadap berbagai ornamen yang (terutama) menempel di dinding kelas.
3. kombinasikan beberapa opsi tempat duduk
Tidak harus dengan bean bags atau hokki stools (maaf, belum menemukan nama Indonesianya. Bisa search di internet). Beberapa opsi tempat duduk berarti memberikan keleluasaan bagi siswa untuk memilih posisi duduknya. Bagi para siswa, keleluasaan semacam ini berarti anda sebagai guru, telah memberikan kepercayaan kepada mereka (untuk mengikuti proses pembelajaran) dan sehingga, mereka merasa memiliki ruang belajar sendiri.
Di masa saya sekolah dahulu, teknik anti-kebosanan yang dilakukan antara lain menggeser posisi duduk siswa secara mengular setiap hari. Selain menghindari kejenuhan, teknik ini juga memberikan kelenturan terhadap otot mata dan leher. Disebabkan siswa tidak hanya melihat jauh-dekat saja, tetapi juga selalu berpindah dari sisi kiri ke kanan ruang kelas (dan sebaliknya).
4. Mengurangi “ruang kerja” guru
Guru bekerja tidak dari balik meja guru di setiap ruang kelas. Guru sepatutnya “menguasai” seluruh ruang kelas hingga ke penjuru-penjurunya. Meja guru, seringkali malah membatasi interaksi guru dengan murid. Yang dengan sendiri, menurunkan kualitas pembelajaran. Ada beberapa yang bisa dilakukan: mendorong furnitur meja guru hingga menempel ke tembok atau menyediakan lemari gantung berukuran kecil sehingga guru tersebut dapat meletakkan perlengkapan mengajarnya di sana. Kedua hal sederhana ini menyediakan ruang mengajar yang lebih lega bagi sang guru.
5. Memaksimalkan ruang kolaborasi antar siswa
Kita semua memahami bahwa murid di jaman now ini butuh lebih dari sekedar fakta (yang dipresentasikan oleh gurunya). Yang mereka butuhkan sekarang ini antara lain, mampu berkomunikasi dengan baik, dan saling bekerja sama guna memecahkan masalah. Ruang kelas kita harus bisa mengakomodasi -minimal- kedua hal tersebut. Maka, tatkala mendesain kembali ruang kelas, cari cara yang paling memungkinkan agar ruang-ruang yang tersedia bisa dimaksimalkan sebagai pusat kegiatan kolaboratif — pusat kegiatan bekerja/membuat bersama.
6. Ruang berkreasi/mencipta sesuatu
Ruang kelas di mana pembelajaran berbasis proyek, membutuhkan ruang di mana para murid bisa membuat sketsa, melakukan produksi, dan mem-purwarupa-kan sesuatu. Pekerjaan semacam itu membutuhkan permukaan yang bebas dari peralatan apapun dan suatu tool box berisi material dan perlengkapan (bukan perlengkapan sekolah biasa, semisal lem, gunting, dan spidol) yang bisa diakses oleh para murid. Satu wadah lagi yang penting adalah, wadah tempat meletakkan karya (hasil kerja) yang masih dalam proses. Suatu karya, tidak mungkin selesai dalam 1–2 waktu tatap muka, kan? Dalam skala yang lebih besar, ruang kelas yang menekankan pada dokumentasi dan presentasi produk setengah jadi yang dibuat oleh siswa. Ini adalah salah satu wujud design thinking juga.
Design thinking menekankan pada dokumentasi dan presentasi kegiatan belajar mengajar di sekolah, jadi bukan hanya produk jadinya saja. Dan sebaiknya para guru tidak pernah berhenti untuk tetap mencari cara untuk menampilkan proses belajar murid di kelas.
7. Permukaan tembok/meja yang bisa ditulis
Papan yang bisa ditulis, tidak hanya papan tulis kan? Baik itu blackboard atau whiteboard. Sekarang ini juga ada papan kaca yang bisa ditulis. Tentu saja tidak harus membeli. Kita boleh memutar otak untuk menemukan cara murah membuat papan/meja yang bisa ditulis dan dihapus.
Mendesain ruang belajar tidak sama dengan mendekorasinya. Bedanya terletak pada apakah kita mengetahui dan memahami efek dari desain/dekorasi tersebut terhadap efektifitas pembelajaran secara keseluruhan. Dengan kata lain, apakah desain tersebut memberikan efek fungsional terhadap proses pembelajaran atau tidak.
8. Maksimalkan penggunaan lorong-lorong di samping ruang kelas.
Proses pembelajaran bisa diekstensikan sampai ke luar dinding kelas, kok. Jadi jangan kaku, terhambat, dan terbatasi dengan dinding-dinding ruang kelas saja.
Penutup
Belajar tentang mendesain ruang kelas adalah proses yang tidak pernah berakhir. Jadi daripada mengubah semuanya besar-besaran sekaligus, lebih baik mulai dengan sedikit perubahan, termasuk melibatkan siswa di dalam perubahan tersebut, dan lakukan iterasi seiring anda menjalani proses desain ruang kelas itu sendiri.